Lanjut ke konten

WOC dan CTI Menyisakan Tujuh Soal

23/05/2009

menado 2Oleh Muhamad Karim,

Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.

Sinar Harapan: Jumat, 22 Mei 2009 14:14

Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference/WOC) dan Inisiatif Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle Initiative/CTI) , 11-15 Mei 2009 di Manado, menghasilkan Deklarasi Kelautan Manado (Manado Ocean Declaration, MOD). Sayangnya, MOD tak mengikat, pun menyisakan masalah. Mencermati dokumen MOD, setidaknya ada tujuh masalah yang tidak tuntas atau patut dipertanyakan. Perte-muan WOC dan CTI tersebut menghabiskan biaya sekitar Rp 300 miliar.

Pertama, privatisasi yang mengatasnamakan konservasi yang luasnya mencapai 10 juta hektare pada tahun 2010 dan 20 juta hektare pada tahun 2020.. Liberalisasi sumber daya alam semacam ini praktis mengancam kehidupan nelayan tradisional di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di kawasan CTI  (Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Timor Leste dan Solomon). Nelayan tradisional akan tergusur dan miskin akibat sumber daya kelautan dikelola oleh lembaga-lembaga lingkungan internasional yang bernaung di bawah perusahaan multinasional.

Secara perlahan mereka akan menghilangkan peran negara yang seharusnya membe-rikan perlindungan kepada nelayan tradisional dan ma-syarakat pesisir. Adanya klausul MOD yakni ”menekankan partisipasi dan investasi lebih besar dalam sistem pengawasan pesisir dan laut” mencerminkan keterlibatan lembaga internasional yang akan mengawasi sekaligus mengelola sumber daya kelautan dengan mengabaikan eksistensi nelayan tradisional. Ini sudah berlangsung di Taman Nasional Komodo, NTT.

Peminggiran Nelayan Tradisional
Kedua, ketergantungan pengelolaan sumber daya kelautan (SDK) terhadap utang luar negeri. Akibat utang, lambat laun penguasaan SDK dikendalikan oleh lembaga-lembaga internasional semacam The Nature Conservation (TNC) dan World Wild Fund (WWF) yang sekaligus menyandang dananya. Simaklah klausul MOD, “perlunya sumber daya finansial dan insentif untuk membantu negara berkembang untuk mempromosikan kehidupan berkelanjutan dari komunitas pesisir yang terancam”. Mengingat MOD tak mengikat, klausal ini  lebih mencerminkan kucuran utang luar negeri atas nama konservasi dan kemiskinan ma-syarakat pesisir dari negara maju yang memproduksi emisi CO2.

Ketiga, tak adanya klausul yang menekankan pertanggungjawaban atas pencemaran di laut oleh pembuangan limbah minyak bumi serta tailing dari pertambangan mineral (emas, tembaga). Memang dalam poin 4 disebutkan penanggulangan pencemaran. Namun, mengapa pelakunya tak dimintai pertanggungjawaban yang umumnya perusahaan multinasional? Padahal, dampaknya tak sekadar meningkatkan suhu permukaan laut dan konsentrasi logam berat (merkuri dan timbal) di laut, melainkan mematikan biota perairan seperti ikan. Bahan pangan dari laut bisa mengandung penyakit berbahaya bagi manusia, seperti kanker dan minamata. Buangan limbah ke perairan juga akan meningkatkan suhu air laut, mempengaruhi siklus iklim secara global.

Keempat, peminggiran dan penggerusan posisi nelayan tradisional. Tak satu pun klausul MOD yang menekankan pembelaan hak akses dan kelola nelayan tradisional terhadap sumber daya kelautan. Padahal, negara-negara yang bergabung dalam CTI memiliki komunitas nelayan tradisional yang amat dominan. Selama ini nelayan tradisional sudah mengalami peminggiran hak-hak akses dan kelola akibat perilaku pemodal besar dari dalam negeri maupun asing yang menangkap ikan secara ilegal.

Diperparah lagi oleh penetapan kawasan konservasi laut ala perlindungan laut (Marine Protected Area) yang juga mengusir nelayan tradisional dari daerah tangkapannya. Akibatnya mereka bertindak destruktif dengan mengebom ikan atau menggunakan bahan beracun akibat tekanan hidup yang semakin tinggi. Amat disayangkan kesepakatan di WOC dan CTI tak menyinggung sama sekali nasib nelayan tradisional. Parahnya lagi forum ini justru mengorbankan kearifan lokal nelayan tradisional Lamalera dan Lamakera dengan menetapkan kawasan Laut Sawu sebagai kawasan konservasi.

RI Tak Memperjuangkan Nasibnya
Kelima, dikaburkannya isu perdagangan karbon sebelum pelaksanaan konferensi patut diwaspadai, jangan hanya sebagai strategi negara-negara tertentu untuk membawa dan menyepakatinya secara mengikat di pertemuan COP-15 UNFCCC (konferensi PBB tentang perubahan iklim) di Kopenhagen, Desember 2009. Ini membahayakan bagi Indonesia karena pelbagai riset (Koropitan, 2008, 2009; Lumban Goal, 2009) lautan Indonesia lebih berperan sebagai pelepas karbon (carbon sources) ketimbang penyerap karbon (carbon sink). Indonesia bisa masuk jebakan perdagangan karbon dan harus membayar biaya emisi CO2 ke negara-negara maju yang mengusungnya. Persis model tarif dan nontarif dalam perdagangan dunia yang otomatis merugikan negara berkembang semacam Indonesia.

Keenam, di MOD tak ada tuntutan negara peserta WOC maupun CTI (umumnya negara berkembang) kepada negara maju agar menurunkan emisi CO2-nya, seperti Amerika Serikat dan China. Ini maknanya forum WOC dan CTI dengan dokumen MOD-nya lebih menguntungkan kepentingan negara maju ketimbang negara berkembang. Lantas, apa yang bisa Indonesia perbuat dan negara CTI lainnya pascapertemuan WOC dan CTI yang memaksa negara maju ikut bertanggung jawab terhadap perubahan iklim global?

Ketujuh, Indonesia sebagai tuan rumah WOC dan CTI tak memperjuangkan masalah kelautan yang selama ini menderanya. Misalnya, pencurian ikan (illegal fishing, unreported, dan unregulated) , pembuangan limbah minyak dan tailing. Kalaupun, delegasi Indonesia menyatakan akan membicarakan dalam forum khusus tentang hal ini, saya amat menyangsikan.

Sebab, Indonesia tak mampu menekan negara-negara yang mencuri ikan di perairannya agar menghentikan aktivitas itu. Misalnya, Thailand, Filipina, Taiwan, Korea Selatan, Panama, China, Vietnam, Malaysia, Kamboja dan Myanmar yang juga hadir di WOC dan CTI.

Usai WOC dan CTI, Indonesia akan memilih presiden dan wakil presiden (9 Juli 2009). Sayangnya, bila mencermati kampanye calon presiden dan wakil presiden yang sudah dimulai, tak satu pun pasangan yang mengarusutamakan ”laut” sebagai bagian penting pembangunan nasional. Padahal, diakui atau tidak komunitas dunia sudah memosisikan laut sebagai sumber daya yang bernilai ekonomi-politik secara nasional maupun global.

Tapi, bila kita lengah secara ekonomi maupun politik, sumber daya kelautan kita akan dikuras oleh asing dan pemilik modal. Sementara itu, rakyat Indonesia hanya mendapatkan penderitaan akibat kemiskinan, pencemaran, penyakit berbahaya dan degradasi sumber daya kelautan secara kualitatif maupun kuantitatif secara masif.

Sumber: http://www.sinarhar apan.co.id/ cetak/detail- cetak/article/ woc-dan-cti- menyisakan- tujuh-soal/

No comments yet

Tinggalkan komentar